Sejarah Banjir di Batavia dan Kontrovesinya

banjir-04
Jakarta Tempo Doeloe sudah banjir, Banjir zaman kolonial Belanda

Jakarta bermula dari sebuah bandar kecil di muara Sungai Ciliwung sekitar 500 tahun silam. Bahkan boleh jadi lebih jauh lagi dari 500 tahun yang lalu.Di beberapa tempat di Jakarta seperti Pasar Minggu, Pasar Rebo, Jatinegara, Karet, Kebayoran, Kebon Sirih, Kebon Nanas, Cawang, Kebon Pala, Rawa Belong, Rawa Lefe, Rawa Bangke, ditemukan benda-benda pra sejarah seperti kapak, beliung, gurdi, dan pahat dari batu. Alat-alat tersebut berasal dari zaman batu atau zaman neolitikum antara tahun 1000 SM. Jadi, pada masa itu sudah ada kehidupan manusia di Jakarta.

peta-batavia-tempo-dulu

Di Jakarta juga ditemukan prasasti. Prasasti Tugu ditemukan di Cilineing. Prasasti itu sarat informasi tentang Kerajaan Tarumanegara dengan Raja Purnawarman. Menurut prasasti itu, Jakarta merupakan wilayah Kerajaan Tarumanegara, kerajaan tertua di Pulau Jawa, di samping Bogor, Banten, Bekasi sampai Citarum di sebelah timur dan Ciaruten.

Setelah Tarumanegara hancur oleh Sriwijaya, menurut sejarah, pada abad ke 14, Jakarta menjadi bagian dari kerajaan Pajajaran. Sebuah kerajaan Hindu yang pusatnya terletak di Bogor. Kerajaan ini hancur oleh serbuan Fatahillah dari Kerajaan Demak, dan mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta yang artinya “Kemenangan Jaya”. Setelah Belanda memasuki Nusantara melalui kongsi dagangnya, VOC / Freemason, Jayakarta lambat laun berhasil dikuasai dan kemudian berganti nama menjadi Batavia. Batavia bahkan sempat menjadi pusat perdagangan dan menjadi perebutan antara Inggris, Belanda dan Portugal.

Tom Pires ikut dalam ekspedisi empat kapal Portugis yang berlayar dari Malaka dipimpin de Alvin, tahun 1513. Pires mencatat pelabuhan di muara Kali Ciliwung yang kelak dikenal dengan nama Sunda Kelapa itu sudah tertata rapi, ada syahbandar, hakim, dan juga bendahara (mangkubumi).

Sejalan dengan sejarah kehidupan manusia, sungai-sungai adalah nadi kehidupan manusia pada zamannya hingga kini, seperti sungai Eufrat, Tigris, Nil, Rhein. Demikian juga sungai Ciliwung, satu dari 13 sungai yang mengalir melalui Jakarta, yang konon terbentuk 6 juta tahun yang lalu. adalah sungai yang dulu mengalir bebas, tak berlumpur dan tenang bahkan diceritakan oleh Jean Baptiste Tavernier seorang pionir dagang Perancis, sebagai sungai dengan air paling bersih dan paling baik di dunia. Ciliwung zaman dahulu juga menjadi pusat peradaban kerajaan tanjung jaya jejaknya masih bisa ditemukan dipinggir Ciliwung disekitar Tanjung barat.bahkan zaman sebelum kemeredekaan masib bisa dilewati rakit yang dibuat dari bambu dari Bogor menuju Jakarta, karena sungai adalah urat nadi kehidupan.

Namun kemudian, air di Jakarta menoreh sejarah gelap. Menurut [1] dalam buku sejarah Susan Blackburn, Jakarta : a History, air di Jakarta memiliki reputasi sebagai pembunuh utama. Diawali dengan pemindahan ibukota kolonial Belanda pada akhir abad ke-18, para sejarawan menyimpulkan bahwa krisis airlah salah satu penyebab utamanya. Kepindahan itu merupakan puncak dari keluhan dan  protes keras karena pasokan air bersih bermasalah di Batavia sejak 1720. Dan ketika Jenderal Diederik Durven (1729-1732) memerintahkan penggalian mookervart (saluran) untuk meningkatkan pasokan air bersih ke Batavia, bukan air bersih yang datang tapi penyakit malaria yang hadir. Niat mendapatkan air bersih berujung korban nyawa ribuan penduduk Batavia.

Demikian juga 200 tahunan kemudian, pada tahun 1930 MH Thamrin berteriak-teriak karena masyarakat bawah harus membayar mahal air bersih. Dan sekarang tahun 2012, sayangnya kondisi Jakarta tidak jauh berbeda, bahkan mungkin makin sulit, karena tidak hanya kesulitan pasokan air bersih tapi juga diiringi masalah banjir yang tak berkesudahan. Kontroversi Ciliwung sebagai nadi kehidupan dan sekaligus salah satu hal yang memperparah banjir Jakarta, membuat kelimpungan para pemimpin DKI Jakarta sejak zaman kolonial hingga Jokowi.

Sekilas Sejarah Banjir di Jakarta

banjir jakarta

Jakarta Tempo Doeloe sudah banjir (dok. e-book Gagalnya Sistem Kanal, Banjir Jakarta dari Masa ke Masa, Restu Darmawan )

Banjir Jakarta memiliki sejarah panjang. Tercatat bahkan tahun 1878, 134 tahun y.l. pun di Jakarta yang ketika itu masih bernama Batavia sudah terjadi banjir dikarenakan hujan selama 40 hari tidak berhenti-henti. Hampir setiap tahun di Batavia terjadi banjir, dalam [2] mencatat Januari-Februari 1918 di Kampung tanah tinggi, Kampung Lima, Kemayoran Belakang terjadi banjir karena selokan terlalu kecil dan meluapnya Sungai Ciliwung, kemudian tahun 1919, 1923, Desember 1931, Januari 1932, Maret 1933 banjir kembali berulang. Dikatakan di sana karena sering berulang inilah maka warga Batavia telah menganggap banjir sebagai hal yang wajar. Yang menarik dicatat di sini adalah antara 1892-1918 daerah kota lama jarang banjir, hal ini menunjukkan drainase kota di kota lama Batavia lebih baik

Demikian juga setelah kemerdekaan, Januari 1952, 1953, November 1954, 1956, banjir kembali melanda Jakarta sampai ada karikatur untuk banjir berulang ini. Tahun 1950-1960 tercatat banjir terjadi di daerah Sungai Ciliwung hilir. Tercatat pada bulan Februari 1960 Jakarta mengalami banjir besar, paling parah terjadi di daerah Grogol. Selama ini banjir hanya ditangani oleh masyarakat, baru tahun 1963 masalah banjir ditangani oleh tim khusus bentukan pemerintah.

Periode tahun 1960-1970 daerah banjir semakin meluas dan penduduk yang tinggal di bantaran sungai semakin banyak. Ditengarai antara tahun 1970-1980 siklus banjir semakin pendek, artinya banjir semakin sering terjadi. 1976 di zaman gubernur Ali Sadikin, terjadi banjir hebat, wakil gubernur A Wiriadinata sampai bermalam di pintu air Manggarai, walikota Jakarta Pusat saat itu melaporkan hampir 8 hektar wilayahnya terendam banjir.

potogan kontur tanah jakarta

Sejarah Usaha Pengendalian Banjir Jakarta Hingga Kini

Banjir_Kanal_Barat

Kanal Banjir Barat (dok. http://pustaka.pu.go.id/new/infrastruktur-pengaman-pantai-detail.asp?id=11)

Menurut [6] usaha-usaha mengatasi banjir sebetulnya juga sudah dipikirkan pula oleh pemerintah kolonial Belanda. Pada tahun 1920 Prof H. van Breen dari BOW (cikal bakal Kementrian Pekerjaan Umum) merilis gagasan untuk membangun dua saluran kolektor yang mengepung kota guna menampung limpahan air, yang selanjutnya akan dialirkan ke laut. Saluran pertama menyusuri tepian Barat kota, yang kedua melalui tepian Timur kota. Karena tepian Barat lebih dekat dengan pusat Kota Batavia maka saluran di tepian Barat dulu yang dibangun dengan nama Kanal kali Malang pada tahun 1922.

Kanal Kali Malang ini kemudian dikenal Kanal Banjir Barat (KBB) antara Manggarai-Muara Angke sepanjang 17,4 km. Rencananya Kanal Banjir Barat ini akan diperluas tapi karena sulitnya membebaskan tanah, perluasan Kanal Banjir Barat tertunda sebagai gantinya dibuatlah jaringan pengendali banjir lainnya, yakni jaringan kanal dan drainase yang dinamakan Sistem Drainase Cengkareng. Kanal Banjir Barat hanya mampu menampung sampai 370 meter kubik per detik. Antara tahun 1983-1985 telah dibangun pemerintah Cengkareng Drain, Cakung Drain, Sudetan kali sekretaris.

Sedangkan saluran tepian ke Timur tidak sempat terbangun karena Perang Dunia ke-2. Baru dengan bantuan Netherlands Engineering Consultants, tersusunlah “Master Plan for Drainage and Flood Control of Jakarta” pada Desember 1973. Rancangan ini didetailkan lagi lewat desain Nippon Koei pada 1997. Penggalian untuk Kanal Banjir Timurnya sendiri baru dimulai pada tahun 2003. Panjang Kanal Banjir Timur ini 23,6 km dengan daya tampung limpahan air 390 m kubik per detik. Selain itu, BKT juga dilengkapi dengan sistem kolam sedimen berukuran 300 x 350 meter di kawasan Ujung Menteng. Sistem kolam ini berguna untuk menangkap sedimen agar badan kanal tetap leluasa.

BKT Denah

Denah Kanal Banjir Timur (dok. http://www.jakarta.go.id/web/news/2011/10/kanal-timur)

sutan-sebut-banjir-kanal-timur

Kanal Banjir Timur (dok. http://pustaka.pu.go.id/new/infrastruktur-pengaman-pantai-detail.asp?id=12)

Kesimpulan

Selanjutnya, apakah Kanal Banjir Barat dan Timur beserta drainasenya mampu mengendalikan banjir Jakarta ?? Saya kira banjir Jakarta akan sulit ditangani bila melihat kondisi:

1. Hampir 40% wilayah di Jakarta berada di bawah permukaan laut. Tanpa tanggul seperti di Belanda atau tidak ditimbunnya daerah-daerah yang rendah ini, tentu saja sesuai hukum alam, daerah ini akan selalu kebanjiran. Bahkan dengan selesainya Kanal Banjir Barat dan Timur yang katakanlah berhasil mengalirkan air limpahan hujan ke laut, wilayah Jakarta di bawah permukaan laut ini bila tidak ditangguli dan tidak ditinggikan tetap akan terendam.

2. Masyarakat masih belum sadar tentang pentingnya membuang sampah pada tempatnya dan tidak adanya manajemen sampah dari pemda yang komprehensif maka akan sulit membayangkan semua saluran air bebas sampah dan kotoran.

3. Penyempitan badan aliran sungai yang berjumlah 13 ini. Antara tahun 1960-1970 bantaran sungai Ciliwung mulai ramai dihuni. Selama pemda DKI mengalami kesulitan untuk merelokasi penduduk bantaran Sungai Ciliwung yang sudah puluhan tahun menghuni daerah ini, penyempitan badan sungai akan sulit dielakkan.

4. Rehabilitasi dan perawatan rutin drainase kota dan sungai dari endapan lumpur dan sampah. Seperti kota-kota maju, selalu ada anggaran rutin untuk perawatan, namun bila usaha ini hanya dilakukan bila masalah timbul ya … repot.

5. Banjir kiriman terjadi juga saat pemerintah kolonial Belanda mengganti perkembunan karet menjadi perkebunan teh di Puncak. Demikian sensitif dan tergantungnya kondisi Jakarta dari perubahan kondisi tempat-tempat di atasnya. Untuk itu tanpa kesadaran para pemda Bodetabek untuk mengetatkan pembangunan daerah resapan dan untuk membuat waduk-waduk penampungan air hujan. Jakarta akan tetap kewalahan dengan banjir.

6. Pembangunan-pembangunan rumah dan gedung yang tidak mengindahkan KDB Koefisien Dasar Bangunan, air limpasan hujannya hanya akan memperberat beban kota. Mudahnya membangun di daerah-daerah hijau ditambah kurangnya ruang terbuka hijau di Jakarta, maka semakin sulitlah air hujan yang turun atau meluap dari sungai untuk cepat meresap kembali.

Pemda DKI Jakarta telah membuat Pergub Nomor 38 tahun 2012 tentang bangunan gedung hijau dan akan mulai efektif berlaku di Ibu Kota terhitung mulai 23 April 2013. Sayangnya syarat bangunan hijau untuk mendapatkan IMB baru untuk gedung-gedung tertentu, belum untuk semua gedung dan perumaha, saya cukup optimis bila persyaratan ini diperluas dan diperketat maka kelangkaan air bersih dan sekaligus pengendalian banjir dapat dikurangi.

7. Kompleksitas tata kota Jakarta sangat erat hubungannya dengan kekumuhan, kemiskinan, urbanisasi. Masalah sosial dan budaya yang demikian kompleks membuat usaha-usaha menjadi kontra produktif, seperti contoh perluasan Kanal Banjir Barat yang terpaksa dihentikan karena kesulitan pembebasan tanah, demikian juga sulitnya relokasi penduduk bantaran sungai Ciliwung.

8. Selain itu, yang membuat saya ragu adalah muncul pula 2 kontroversi Kanal Banjir Barat dan Timur ini, karena pembangunan didasarkan kondisi tahun 1918, di mana van Breen memperhitungkan pertumbuhan kota ke Timur. Padahal pada prakteknya pertumbuhan kota ke Selatan. Dan perhitungan ancaman banjir yang ada tidak disertai dengan perhitungan curah hujan rencana sebagai data pijakan mengenai kemungkinan frekuensi dan persentase banjir dalam kurun tertentu yang akuntabel, dengan demikian klaim-klaim pengurangan banjir itu dengan sendirinya menjadi bias.

penyempitan kali krukut di lenteng Agung
penyempitan kali krukut di lenteng Agung
penyempitan kali krukut di lenteng Agung dari 3 m jadi 1 meter.
penyempitan kali krukut di lenteng Agung dari 3 m jadi 1 meter.

Wallahu a’lam … semoga saja Jakarta suatu saat bebas banjir. (ACJP)

COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Brug_over_de_Tjiliwong_bij_Meester_Cornelis_Batavia._

Jembatan di atas Ciliwung yang masih hijau kurang lebih tahun 1885 (dok. http://commons.wikimedia.org/wiki/File:COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Hoofdweg_in_Meester_Cornelis_Batavia_TMnr_60025939.jpg)

COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Het_wassen_van_kleding_langs_de_oever_van_de_rivier_Ciliwung_bij_Meester_Cornelis_Batavia_TMnr_10021981
1910-1930: Kegiatan cuci-mencuci kain dan pakaian di tepi sungai Ciliwung
di daerah Meester Cornelis, Batavia

hutan-beton jakartaDi kota-kota Besar di Indonesia kita jarang menemukan hutan kota. Pembangunan kota selama ini cenderung timpang karena lebih mengutamakan pembangunan fisik. Jadinya bukan hutan kota yang kita temui, melainkan hutan beton dan area pemukiman. Pemandangan ini tampak dari bertebarannya gedung-gedung pencakar langit, terutama di jalan-jalan protokol, perumahan-perumahan.Jadi yang kita temui hanyalah gedung-gedung tinggi menjulang dan kawasan hijau terbuka yang seharusnya kurang lebih 30% dari luas kota seakan-akan diabaikan begitu saja demi yang namanya pembangunan, makananya tak heran kota Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia mengalami berbagai masalah ketika musim hujan datang, hujan sebentar saja Banjir dll.Kualitas lingkungan dan udara yang  sangat buruk karena polutan asap yang dihasilkan kendaraan bermotor. Padahal ruang terbuka hijau/hutan kota sangan berperan dalam mencegah banjir dan mengurangi polutan. Hanya Surabaya yang sekarang berbenah sehingga kota yang dulunya gersang menjadi hijau dan asri.

Di ibu kota Jakarta, misalnya, keberadaan hutan kota bisa dihitung dengan jari. Beberapa yang populer, misalnya, Hutan Kota Srengseng, Taman Suropati, Kawasan Gelora Senayan, Lapangan Monas, dan tentu saja, Kebun Binatang Ragunan, serta hutan kota Universitas Indonesia di perbatasan Jakarta Selatan dan Depok yang sangat asri.

foto-danau-salam-ui1Padahal keberadaan hutan kota mempunyai manfaat yang tak bisa diabaikan. Setidaknya terdapat 24 manfaat hutan kota, seperti yang tertera di bawah ini.

Hutan UI

  1. Sebagai identitas kota.
  2. Tempat pelestarian plasma nutfah.
  3. Penahan dan penyaring partikel padat dari udara.
  4. Penyerap dan penjerap partikel timbal.
  5. Penyerap dan penjerap debu semen.
  6. Pereda kebisingan.
  7. Mengurangi bahaya hujan asam.
  8. Penyerap karbon monoksida.
  9. Penyerap karbon dioksida dan penghasil oksigen.
  10. Penahan angin.
  11. Penyerap dan penapis bau.
  12. Mengatasi penggenangan air.
  13. Produksi terbatas.
  14. Mengatasi instrusi air laut (khusus untuk kota pantai seperti Jakarta).
  15. Ameliorasi (upaya untuk memperoleh kenaikan produksi serta menurunkan biaya pokok, misal dengan perbaikan tanah) iklim.
  16. Pengelola sampah.
  17. Pelestarian air tanah.
  18. Penapis cahaya silau matahari.
  19. Meningkatkan keindahan.
  20. Sebagai habitat burung.
  21. Mengurangi stress masyarakat kota.
  22. Mencegah abrasi pantai (kota pantai).
  23. Meningkatkan industri pariwisata.
  24. Sebagai hobi dan pengisi waktu luang bagi masyarakat kota sebagai tempat interaksi sosial.

Jadi, tunggu apa lagi. Keberadaan hutan kota adalah kebutuhan kita semua. Mari kita dorong pihak berwenang untuk menciptakan lebih banyak lagi hutan kota di kota yang kita tinggali. Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan merevitalisasi kota dengan mengubah tanah-tanah yang tidak produktif menjadi hutan kota.

Sumber:

[1] http://www.tempo.co/read/kolom/2011/09/07/441/300-Tahun-Masalah-Air-Jakarta

[2] Restu Gunawan, Gagalnya Sistem Kanal, Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa, April 2010

[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Banjir_Kanal_Jakarta

[4] http://megapolitan.kompas.com/read/2012/11/12/03071567/Ciliwung.Perlu.Penanganan.Hulu-Hilir

[5] http://www.metrotvnews.com/read/news/2012/11/19/114467/Jokowi-Banjir-Bukan-Perkara-Mudah/6

[6] http://www.jakarta.go.id/web/news/2011/10/kanal-timur

[7] http://www.jakarta.go.id/web/news/2012/06/warisan-alam-dan-perkembangan-sebuah-ibukota

One thought on “Sejarah Banjir di Batavia dan Kontrovesinya

  1. Pingback: Perjalanan Panjang Sejarah Banjir di Jakarta | Beranda MITI

Leave a comment